TIMES MAJALENGKA, MAJALENGKA – Ketika publik menilai rendah kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebenarnya bukan hanya soal perilaku individual para wakil rakyat yang sering tidak empatik. Akar persoalan lebih dalam terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang duduk di kursi legislatif.
Lemahnya kualitas ini sesungguhnya merupakan buah dari sistem rekrutmen partai politik yang cenderung pragmatis: mengutamakan popularitas ketimbang kompetensi.
Jika menengok “persyaratan ideal” bagi calon anggota legislatif, terlihat jelas bahwa menjadi wakil rakyat seharusnya menuntut pengalaman, integritas, dan kapasitas intelektual yang memadai.
Minimal pengalaman menjadi kader partai, tidak sedang tersangkut kasus hukum, berpendidikan tinggi, hingga memiliki sertifikat keahlian.
Panduan Rekrutmen & Kaderisasi Partai Politik Ideal di Indonesia (KPK & LIPI, 2016) bahkan menegaskan bahwa agar partai betul betul menjadi pilar demokrasi, partai politik sebaiknya merespon persyaratan dalam undang undang sebagai persyaratan sangat minimal, dan partai politik berlomba untuk menempatkan calon yang terbaik dengan memenuhi persyaratan persyaratan.
Sayangnya, praktik di lapangan jauh panggang dari api. Partai politik lebih sering menominasikan figur-figur dengan elektabilitas instan: artis, selebriti media sosial, atau tokoh populer tanpa rekam jejak politik yang jelas.
Popularitas dipandang sebagai “jalan pintas” untuk mendulang suara, sementara kapasitas dan kualitas terpinggirkan. Akibatnya, parlemen kita diisi oleh wajah-wajah terkenal, tetapi miskin gagasan, minim empati, dan lemah dalam fungsi legislasi maupun pengawasan.
Kondisi ini berbahaya bagi kualitas demokrasi. Wakil rakyat yang lahir dari proses rekrutmen instan cenderung tidak memiliki ikatan ideologis maupun pemahaman mendalam tentang problem rakyat.
Mereka lebih mudah tergoda kepentingan jangka pendek, sibuk membangun citra personal, dan lupa pada mandat besar: memperjuangkan kepentingan publik. Tidak heran jika kemudian publik kerap menyaksikan sikap arogan, kurang peka, bahkan abai terhadap penderitaan masyarakat.
Sudah saatnya partai politik berbenah. Penjaringan dan penyaringan calon anggota legislatif harus mengutamakan meritokrasi, bukan sekadar popularitas.
Kapasitas intelektual, integritas moral, dan rekam jejak pengabdian harus menjadi standar utama. Demokrasi sehat hanya bisa lahir dari parlemen yang diisi oleh orang-orang berkualitas, bukan sekadar populer.
Rekrutmen yang berbasis kualitas adalah kunci agar kita tidak terus-menerus terjebak pada drama “pejabat tak berempati”. Wajah politik Indonesia tidak hanya ditentukan oleh siapa yang populer, tetapi oleh siapa yang benar-benar peduli dan mampu memperjuangkan rakyatnya.
***
*) Oleh : Adi Junadi, Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Majalengka.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |