TIMES MAJALENGKA, JAKARTA – “Jika menginginkan kekuasaan perjuangkan dengan dasar prinsip dan moral, jika perjuangan menuai perlawanan maka bersikap preventif tanpa memicu perpecahan”
***
Gagasan realisme baru Rutger Bregman dalam buku Human Kind: A Hopeful History telah mengilhami penulis dalam memandang konstruksi praktik perpolitikan Indonesia secara mendasar. Begitu banyak kontroversi yang selalu bermunculan ketika konstelasi perebutan kekuasaan akan dimulai. Kontroversi yang bermunculan pun telah memperlihatkan pandangan sinis kita terhadap sesama masyarakat maupun antar kelompok masyarakat Indonesia yang tidak lagi saling percaya.
Gagasan realisme baru Rutger Bregman cukup sederhana bahwa sebagian besar orang, pada dasarnya, itu baik. Gagasan realisme baru tersebut sebenarnya mencoba membantah teori lapis luar Frans de Waal yang jika dalilnya disederhanakan akan berbunyi “bahwa hakikat manusia itu egois”. Hal ini menjadi kepercayaan komunal dan membentuk nosebo yang mengkonstruksi praktik politik sinisme di Indonesia, atau bahkan di seluruh penjuru dunia.
Kepercayaan komunal tentu akan menjadi pandangan dasar yang membentuk sikap dan perlakuan masyarakat secara timbal balik. Misalnya ketika dua orang satu sama lain memiliki pandangan negatif terhadap sesamanya, maka sudah dapat dipastikan keduanya akan bersikap sinis satu sama lain. Apapun yang dilakukan salah satu dari mereka akan dianggap sebagai ancaman bagi yang lain dan sebaliknya. Hal ini akan bersifat konstan dan dapat menimbulkan efek yang lebih besar bahkan perpecahan, padahal pandangan tersebut belum tentu benar.
Namun pertanyaannya apakah kepercayaan komunal tadi merupakan kebenaran atau hanya nosebo. Rutger Bregman telah membangun argumen yang mapan berdasarkan penelusuran sejarah dan merangkum beberapa penelitian terkenal di dunia dari berbagai disiplin keilmuan untuk menyatakan bahwa sebagian besar orang pada dasarnya itu baik (Baca: Human Kind). Lebih jauh, kepercayaan terhadap hakikat manusia tersebut bukan hanya akan memengaruhi cara kita memandang orang lain bahkan bisa memengaruhi praktik politik.
Dalam kaitannya dengan konstelasi politik nasional, kita telah dihadapkan dengan berbagai kontroversi yang berasal dari politik sinisme. Contoh pertama Friendly Match Indonesia Vs Argentina yang dianggap memuat pesan politisasi untuk meraup dukungan pecinta sepakbola. Meski hal tersebut benar akan berpengaruh terhadap daya tawar politik, namun secara substansi dalam konteks Sepak Bola hal ini merupakan sebuah kemajuan.
Kemudian masalah paling purba dalam perpolitikan Indonesia yakni politik identitas. Keberpihakan berdasarkan identitas baik agama, suku, maupun ras seharusnya tidak menjadi suatu permasalahan. Namun hal ini akan menjadi suatu permasalahan ketika menggunakan politik sinisme yang akan menimbulkan perpecahan. Ketika politik identitas masuk dalam narasi politis, hal ini lagi-lagi telah menunjukkan sikap saling kecurigaan antar identitas.
Begitupun dengan praktik klientalisme politik, tidak lain juga didasari oleh kepercayaan komunal terhadap teori lapis luar. Klientalisme politik atau politik transaksional pada intinya adalah sikap untuk mengamankan hak melalui sebuah kesepakatan. Hal ini juga menunjukkan bahwa sikap saling curiga atau tidak saling percaya antara masyarakat atau kelompok masyarakat dengan aktor poltik sehingga keduanya memutuskan untuk membentuk suatu kontrak politik.
Kemudian dapat kita bayangkan jika kepercayaan komunal tadi tertuju pada gagasan realisme baru Rutger Bregman (sebagian besar manusia itu baik). Tentu cara kita memandang orang lain, identitas lain, dan perbedaan-perbedaan lainnya akan berubah. Bukan lagi berpandangan sinis namun memiliki sikap saling percaya. Objektifitas kita pun tentu akan jauh lebih tajam dan mengacu pada substansi yang ada bukan semata-mata hanya dikonstruksi oleh persepsi yang belum terjamin kebenarannya.
Namun perlu digarisbawahi bahwa gagasan realisme baru tersebut hanya dapat diterapkan secara utuh di zaman pemburu pengumpul. Di mana manusia belum mengenal yang namanya kepemilikan pribadi/kelompok dan semua hidup dalam kesetaraan yang sempurna. Rousseau mengatakan manusia pertama yang sesudah menandai sepetak tanah lantas berkata “ini milikku” (akhir dari generasi nomaden), hal inilah yang menjadi awal dari praktik kepemilikan yang juga berarti munculnya kesenjangan.
Dalam artian di kehidupan modern saat ini, gagasan realisme baru tersebut cukup utopis. Namun dapat dijadikan sebagai acuan nilai untuk setidaknya menurunkan dosis sentiment politik dan mengurangi resiko perpecahan. Batu pijakan kehidupan modern didasarkan pada pola kehidupan menetap yang dimulai sejak 10.000 tahun yang lalu. Di mana hal tersebut merupakan awal dari munculnya kepemilikan pribadi dan kekuasaan.
Pola kehidupan saat inilah yang membentuk kepercayaan komunal terhadap teori lapis luar. Karena psikologi masyarakat yang terbentuk akan selalu berusaha untuk mempertahankan kepemilikan pribadi dan kekuasaan. Konsekuensinya kita memandang orang lain atau kelompok di luar sebagai suatu ancaman (sikap preventif) terhadap apa yang kita miliki (harta dan kekuasaan).
Pengamatan luar biasa Machiavelli terhadap perubahan pola kehidupan tersebut juga melahirkan suatu filosofi kekuasaan yang dapat dipraktikkan secara konkrit dan banyak menjadi rujukan praktik kekuasaan. Dalam Il Principe Machiavelli menuliskan; “Jika menginginkan kekuasaan perjuangkanlah. Jangan malu dan terikat dengan prinsip atau moral, dan apabila tidak menjaga diri (sikap sinis/preventif) orang akan mengalahkan kita”. Demikian psikologi politik (sinisme) yang terbentuk dan menjadi kepercayaan komunal saat ini.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa teori lapis luar Frans De Waal juga benar, namun posisinya mesti dipahami bukan sebagai hakikat melainkan hasil dari peradaban. Namun hal yang terpenting bagaimana kita memandang kedua gagasan itu secara proporsional. Dengan memahami gagasan realisme baru, teori lapis luar yang menimbulkan sikap sinis dapat dibatasi penggunaannya sebagai naluri preventif bagi masyarakat untuk mengkonfirmasi kebenaran subtantif dalam perpolitikan.
Bukan sebaliknya, kepercayaan komunal tersebut justru membentuk nosebo yang berpotensi mengganggu keutuhan dan menimbulkan perpecahan. Sejarah Indonesia pun telah mencatat bahwa tragedi G30SPKI juga berawal dari sikap sinis antar identitas ideologi. Sentimen yang semakin tajam akibat dominasi ideologi akhirnya berujung pada perpecahan, pemberontakan hingga korban jiwa. Pada kondisi inilah kita perlu mengamini bersama gagasan realisme baru Rutger Bregman dalam mengontrol persepsi masyarakat.
Sebagai nilai pemersatu di tengah berbagai perbedaan yang ada, Indonesia telah memiliki Pancasila sebagi dasar negara. Begitupun dengan kondisi ideal yang dapat dirujuk secara konkrit, masyarakat Indonesia telah menyepakati Undang-Undang Dasar sebagai dokumen hukum tertinggi. Oleh sebab itu, penggunaan politik sinisme di Indonesia juga dapat dijalankan secara subtantif dan konkrit dengan merujuk pertimbangan pada kesepakatan-kesepakatan yang ada.
Pada akhirnya konstelasi politik sebagai suatu upaya perebutan kekuasaan tentu akan selalu memunculkan kontroversi. Satu hal penting, bahwa dalil hukum tertinggi bukanlah Pancasila maupun UUD 1945, namun salus populi suprema lex di mana keselamatan rakyat dan keutuhan negara di atas segala-galanya. Dengan memandang gagasan realisme baru dan teori lapis luar secara proporsional tentu akan menjadi suatu dasar konstruktif yang positif bagi praktik perpolitikan di Indonesia atau bahkan di seluruh penjuru dunia.
***
*) Oleh: M Hafiz Al Habsy, [Ketua BEM KM FIS UNP/Presidium Nasional Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Sosial dan Politik
Se-Indonesia]
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Ronny Wicaksono |