TIMES MAJALENGKA, MAJALENGKA – Inovasi dalam dunia mode tidak selalu lahir dari pusat-pusat industri besar. Dari sudut Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, muncul sosok Ayank R Sambara, seorang pegiat seni dan pewarta bahasa Sunda yang kini dikenal sebagai pelopor fashion berkelanjutan berbasis daur ulang.
Ayank membuktikan bahwa kain perca dan limbah tekstil tak melulu berakhir di tempat pembuangan. Dengan sentuhan kreatif dan visi lingkungan yang kuat.
Ia berhasil mengubah material bekas menjadi karya busana bernilai tinggi. Salah satu gaun hasil kreasinya bahkan terjual hingga Rp15 juta setelah dipamerkan dalam sebuah gelaran fashion di Bandung.
"Fashion tak harus selalu baru. Kita bisa mengangkat potensi lokal dan tetap peduli lingkungan melalui kain bekas," ujar Ayank, Minggu (3/8/2025).
Mengusung konsep eco-fashion, Ayank memadukan teknik jahit tangan dengan seni lukis langsung pada kain daur ulang. Pendekatan ini menjadikan setiap karyanya unik, tak hanya secara visual, tetapi juga dari sisi pesan sosial dan nilai keberlanjutan yang diusung.
"Melukis di atas kain bekas memberi tantangan tersendiri. Ini tentang meramu estetika dan narasi dalam satu helai busana," katanya.
Meskipun tidak memiliki latar belakang akademis di bidang desain, Ayank secara otodidak mengembangkan teknik dan gaya khasnya. Proses penciptaan satu gaun bisa memakan waktu hingga tiga bulan.
Mulai dari pengumpulan bahan, perancangan konsep, penjahitan, hingga proses melukis secara manual. Ayank menyasar segmen pasar yang peduli pada fashion etis dan ramah lingkungan.
Sekaligus ia juga mengedukasi generasi muda agar berani berkarya dari kampung halaman mereka sendiri. Ia ingin menunjukkan bahwa kreativitas tidak mengenal batas wilayah ataupun modal.
"Saya ingin anak-anak muda Majalengka percaya bahwa dari desa pun kita bisa membangun karya berkelas nasional, bahkan global," tegasnya.
Karya-karya Ayank kini mulai mendapat perhatian dari berbagai komunitas fashion alternatif dan pecinta slow fashion. Ia tak hanya memproduksi pakaian, melainkan turut membangun kesadaran bahwa industri fashion harus bergerak menuju keberlanjutan, di tengah maraknya krisis limbah tekstil dan budaya konsumtif.
Setiap gaun, jaket, atau atasan yang ia hasilkan bukan sekadar produk fesyen, melainkan simbol perlawanan terhadap pola konsumsi berlebih serta ajakan untuk menghargai proses dan nilai dari setiap lembar kain yang selama ini dianggap tak bernilai.
Dengan semangat ini, Majalengka mulai menampilkan wajah barunya, sebagai kota yang tidak hanya unggul dalam sektor pertanian dan pariwisata, tetapi juga tumbuh sebagai pusat kreatifitas baru dalam fashion berkelanjutan Indonesia. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Desainer Asal Majalengka Angkat Limbah Jadi Tren Fashion Nasional
Pewarta | : Jaja Sumarja |
Editor | : Deasy Mayasari |