TIMES MAJALENGKA, MAJALENGKA – Gelombang penegakan hukum terhadap kepala daerah kembali mencuat ke ruang publik. Dalam rentang waktu yang relatif singkat pasca pelantikan serentak kepala daerah awal 2025, publik dikejutkan oleh dua peristiwa penting: penetapan tersangka oleh Kejaksaan Negeri terhadap seorang wakil kepala daerah, serta operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyeret seorang kepala daerah aktif. Kedua peristiwa ini terjadi bahkan sebelum satu tahun masa jabatan berjalan.
Fenomena tersebut menegaskan satu hal: persoalan korupsi di tingkat pemerintahan daerah bukan semata soal individu, melainkan persoalan struktural yang saling terkait antara kekuasaan politik, birokrasi, dan kepentingan ekonomi. Penetapan tersangka dan OTT bukan sekadar peristiwa hukum, tetapi juga pesan simbolik yang kuat tentang rapuhnya sistem integritas dalam pemerintahan lokal.
Dari perspektif komunikasi politik, kasus semacam ini langsung membentuk narasi publik yang negatif. Kepala daerah yang baru saja dilantik yang sebelumnya tampil dengan janji perubahan, reformasi, dan pelayanan publik tiba-tiba beralih posisi menjadi figur yang dipertanyakan legitimasi moral dan politiknya. Di titik inilah krisis kepercayaan (trust deficit) mulai terbentuk. Publik tidak lagi sekadar menilai program kerja, tetapi mempertanyakan watak kekuasaan itu sendiri.
Penetapan tersangka oleh Kejaksaan Negeri terhadap pejabat daerah menunjukkan bahwa penyalahgunaan kewenangan masih menjadi titik rawan dalam praktik pemerintahan. Ruang diskresi yang dimiliki pejabat politik sering kali tidak diimbangi dengan mekanisme pengawasan internal yang kuat. Ketika proses pengambilan keputusan terutama terkait anggaran dan proyek publik tidak transparan, maka peluang terjadinya penyimpangan menjadi semakin besar.
Sementara itu, OTT yang dilakukan KPK menghadirkan dimensi komunikasi yang berbeda. OTT selalu memiliki daya kejut tinggi karena berlangsung tiba-tiba dan terbuka bagi konsumsi media.
Dalam banyak kasus, OTT membangun pesan tegas bahwa negara hadir dan tidak mentolerir praktik korupsi. Namun di sisi lain, frekuensi OTT terhadap kepala daerah juga memunculkan ironi: mengapa pola yang sama terus berulang meski sistem demokrasi lokal telah berjalan bertahun-tahun?
Masalahnya tidak berhenti pada aspek penegakan hukum. OTT dan penetapan tersangka sering kali dipahami publik sebagai akhir cerita, padahal sejatinya itu adalah gejala dari persoalan yang lebih dalam.
Biaya politik yang tinggi, lemahnya kaderisasi partai, budaya patronase, serta hubungan transaksional antara penguasa dan elite ekonomi lokal menjadi konteks yang jarang dibicarakan secara serius dalam ruang publik.
Akibatnya, yang muncul adalah sinisme politik. Masyarakat mulai memandang bahwa siapa pun yang terpilih pada akhirnya akan terjebak dalam pusaran kekuasaan dan kepentingan. Jika kondisi ini dibiarkan, maka demokrasi lokal hanya akan menjadi prosedur elektoral tanpa substansi etika dan integritas.
Karena itu, fenomena penetapan tersangka dan OTT harus dibaca sebagai momentum refleksi bersama. Bukan untuk menghakimi individu atau wilayah tertentu, melainkan untuk mengevaluasi sistem. Pencegahan korupsi tidak cukup hanya mengandalkan keberanian aparat penegak hukum. Ia membutuhkan pembenahan komunikasi politik yang jujur, transparansi kebijakan publik, serta pendidikan etika kekuasaan bagi para pejabat sejak awal masa jabatan.
Bagi pemerintahan daerah, tantangan sesungguhnya bukan sekadar tidak tertangkap, melainkan bagaimana membangun budaya kekuasaan yang berjarak dari kepentingan sempit dan dekat dengan kepentingan publik. Tanpa perubahan mendasar itu, penetapan tersangka dan OTT akan terus menjadi siklus yang berulang menghukum individu, tetapi meninggalkan sistem yang sama.
Ketika kekuasaan baru terus-menerus langsung diuji oleh kasus korupsi, yang sesungguhnya sedang dipertaruhkan bukan hanya nama seorang kepala daerah, melainkan masa depan kepercayaan publik terhadap demokrasi lokal itu sendiri.
***
*) Oleh : Adi Junadi, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Majalengka.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |